Sabtu, 14 April 2012

[6] Mencantumkan Data Buku

Bentuk tulisan resensi buku dengan genre tulisan lain --yang biasa dimuat di koran-- memang memiliki perbedaan. Karena itu, adanya perbedaan tersebut harus diketahui dan perlu diperhatikan. Sebab, salah dalam menuliskan apa yang harus ada dalam naskah resensi buku, tentu bisa berakibat “fatal”; bisa-bisa resensi yang sudah ditulis dengan susah payah pun bisa tidak dimuat. Padahal, persoalan ini bisa dikata sepele!
      
Salah satu perbedaan yang harus diperhatikan adalah tentang penulisan data buku. Dalam tulisan resensi buku, data buku “wajib” dicantumkan (atau disertakan) dalam naskah resensi buku. Sebab, dengan pencantuman data buku tersebut, orang yang membaca resensi jadi “tahu” tentang buku yang diresensi. Maka, pencantuman data buku itu tidak boleh terlewatkan. Wajib dan harus dicantumkan.

Sabtu, 31 Maret 2012

[4] Membuat Konsep Tulisan Resensi

Setelah seorang peresensi membaca buku hingga tamat, dan sudah menemukan pokok pikiran penulis yang dituangkan dalam buku yang hendak diresensi dan bahkan sudah melakukan riset kecil-kecilan untuk menambah pengetahuan terkait tema buku tersebut, kini tak ada lagi yang menghalangi seorang peresensi untuk segera melakukan eksekusi atau memulai menulis resensi.

Tapi bagi seorang peresensi pemula, seringkali dia dihadapkan pada setumpuk kebingungan ketika hendak menulis resensi. Dari setumpuk kebingungan itu, antara lain adalah seputar sistematika tulisan resensi dan unsur-unsur apa yang harus ada dalam resensi buku. Bahkan, bisa jadi peresensi pemula akan dihinggapi kebingungan tentang bagaimana goresan awal dalam menulis resensi.

Sabtu, 24 Maret 2012

[3] Menunjang Resensi dengan Riset

Lalu, apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan setelah seorang peresensi membaca buku hingga tamat bahkan sudah menemukan pokok pikiran sebuah buku yang hendak diresensi? Apakah setelah itu langsung “menulis” resensi buku? Tentu,  tidak ada yang melarang Anda jika memang sudah merasa siap melakukan “eksekusi” atau tepatnya memulai menulis resensi.

Tetapi, saran saya sebaiknya hasrat untuk segera menulis resensi itu ditunda dulu. Meskipun sebenarnya bisa langsung memulai menulis (resensi), tapi akan jauh lebih baik jika Anda melakukan riset. Apalagi kalau tema buku yang hendak diresensi itu tergolong berat. Maka, melakukan riset bisa dikata “setengah wajib” atau bahkan bisa digolongkan wajib.

[2] Membaca Buku untuk Meresensi

Setelah memilih buku yang tepat, lantas apakah buku yang akan diresensi itu harus dibaca seluruhnya dari awal hingga akhir? Tidak jarang bahkan sering kali saya mendapatkan pertanyaan seperti itu dari beberapa peresensi pemula atau beberapa teman yang baru belajar menulis resensi.

Jawaban saya pendek; lebih baik bahkan lebih mumpuni jika buku yang akan diresensi itu dibaca seluruhnya dari awal hingga akhir. Apalagi jika buku yang akan diresensi itu adalah novel. Sebab, untuk meresensi sebuah novel, seorang peresensi dituntut harus tahu setiap tikungan cerita, titik balik (dari jalan cerita), tokoh-tokoh penting dalam novel, bahkan dituntut untuk mengetahui ending cerita. Kalau tidak sampai tahu semua hal itu dengan detail, pasti tulisan resensi (untuk kategori novel) yang dihasilkan akan kurang mendalam atau bahkan bisa menyesatkan.

Sabtu, 10 Maret 2012

Kekuatan Imajinasi

Esai ini dimuat di Radar Surabaya Minggu 21 Agustus 11

DULU, tatkala dorongan menulis itu menjeratku, aku langsung menyalakan komputer dan menuangkan ide yang melintas tersebut -begitu saja. Tak peduli malam. Tak peduli siang. Aku menulis, seakan aku dirasuki kekuatan gaib -yang menuntun tanganku untuk bergerak. Aku seperti sebuah robot yang dikendalikan kekuatan gaib yang tak pernah kukenal. Aku menulis lantaran aku didorong oleh keinginan untuk menulis.


Tapi ironisnya, sering kali aku tak bisa merampungkan tulisanku itu daripada sukses merakit cerita sampai tuntas. Jujur kuakui! Meskipun dorongan menulis itu kerap datang menggebu-gebu, lantaran tak ada konsep dan tak ada bayangan yang jelas tentang apa yang harus kutulis, akhirnya kekuatan gaib yang "mendorongku" itu pun hanya membuatku kecewa setelah aku berjuang sekuat tenaga mencurahkan kekuatanku, tetapi tak menghasilkan sebuah cerita -seperti yang terlintas dalam kepalaku.

Sekolah Menulis Gratis

Sebenarnya, sudah lama aku ingin mendirikan "sekolah menulis gratis". Tapi rasa minder dan perasaan kurang percaya diri --karena dulu aku belajar menulis dari jalanan-- membuatku urung untuk mewujudkan cita-cita itu. Hingga akhirnya, aku diundang tim kreatif Apa dan Siapa (TVOne). Di akhir acara, host Apa dan Siapa yang saat itu dibawakan Indiarto Priadi bertanya,  "Setelah Anda jadi penulis, apa sumbangsih anda pada orang lain terlebih anak-anak jalanan yang mengalami nasib seperti Anda?" Dengan sedikit kikuk aku menjawab setengah bergetar, "Aku ingin mendirikan sekolah menulis gratis terutama bagi anak yang kurang mampu yang bernasib sepertiku dulu."

Terus terang, "jawaban" itu aku anggap sebagai utang kemanusiaan dan membuatku dihantui pikiran berdosa jika aku tidak mewujudkan dengan segera impian tersebut. Maka dalam kesempatan kali ini aku bertekat memenuhi janjiku untuk membuka sekolah menulis gratis. Ada tiga alasan kenapa aku akhirnya berani membuka sekolah menulis gratis ini.