Sabtu, 24 Maret 2012

[2] Membaca Buku untuk Meresensi

Setelah memilih buku yang tepat, lantas apakah buku yang akan diresensi itu harus dibaca seluruhnya dari awal hingga akhir? Tidak jarang bahkan sering kali saya mendapatkan pertanyaan seperti itu dari beberapa peresensi pemula atau beberapa teman yang baru belajar menulis resensi.

Jawaban saya pendek; lebih baik bahkan lebih mumpuni jika buku yang akan diresensi itu dibaca seluruhnya dari awal hingga akhir. Apalagi jika buku yang akan diresensi itu adalah novel. Sebab, untuk meresensi sebuah novel, seorang peresensi dituntut harus tahu setiap tikungan cerita, titik balik (dari jalan cerita), tokoh-tokoh penting dalam novel, bahkan dituntut untuk mengetahui ending cerita. Kalau tidak sampai tahu semua hal itu dengan detail, pasti tulisan resensi (untuk kategori novel) yang dihasilkan akan kurang mendalam atau bahkan bisa menyesatkan.

Kenapa harus membaca buku seluruhnya? Jawabnya saya pun cukup simpel. Pertama, dengan membaca seluruh buku, maka seorang peresensi akan lebih banyak tahu isi buku daripada hanya membaca sekilas atau beberapa bagian penting saja dari buku tersebut. Kedua, dengan membaca seluruh isi buku, maka peresensi akan tahu kalau ada kekurangan atau kelemahan yang ada dalam buku yang sedang dibaca itu.

Sebab, seorang penulis buku itu sejatinya bukan “malaikat”. Jadi, bukan satu jaminan bahwa buku yang terbit atau beredar di pasaran itu  pasti “sempurna”. Maka dengan membaca seluruh (dari isi) buku, seorang peresensi bisa menemukan, misal jika ada satu bagian atau bab yang kurang sempurna --bahkan bisa pula menemukan jika ada kesalahan tulis, kutip atau bahkan kekurangan data.

Tak salah lagi, jika di sini saya harus berani mengatakan dengan tegas bahwa membaca untuk tujuan meresensi itu beda dengan membaca buku pada umumnya. Dalam membaca buku untuk tujuan meresensi, seorang peresensi dituntut jeli, kritis dan cermat. Sebab, tujuan “membaca buku” untuk meresensi itu adalah menangkap ruh,  point penting, bahkan inti sari dari buku tersebut. Jika gagal menemukan poin penting, ruh atau inti sari dari isi buku tersebut, bisa bahaya. Resensi yang dihasilkan –tidak menutup kemungkinan—akan melenceng dari buku yang justru diresensi.

Jika hal itu yang terjadi, apakah itu bukan tindakan yang “fatal”? Karena itu, saya selalu menyarankan bagi peresensi pemula untuk membaca “seluruh isi” buku yang hendak diresensi. Bahkan, syarat itu membaca seluruh buku dari awal hingga akhir pun bagi saya masih kurang. Sebab, hal penting lain –selain membaca untuk menangkap ruh buku-- yang tidak bisa dilupakan lagi adalah membaca dengan kritis.

Tuntutan membaca dengan kritis itu dimaksudkan sebagai modal agar resensi yang dihasilkan nanti akan lebih “berbobot”, karena peresensi memiliki ruang untuk memberi kritikan, jeli memangkap secuil kelemahan atau kekurangan buku.

Apakah tuntutan untuk membaca buku (yang hendak diresensi) secara utuh –dari halaman pertama sampai halaman akhir-- itu wajib? Jawaban saya pun simpel; tergantung kapasitas, pengetahuan dan wawasan dari seorang peresensi itu. Semisal, jika kebetulan seorang peresensi itu memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang tema yang dibahas dalam buku yang hendak diresensi maka tak ada tuntutan harus membaca seluruh isi buku. Sebab, tugas seorang peresensi membaca itu tidak kurang dan tak lebih adalah menemukan pokok pikiran yang dituangkan oleh penulis dalam sebuah buku. Tetapi, dengan catatan harus tetap membaca dengan jeli bahkan kritis.

Jadi, jika seorang peresensi sudah mampu menangkap pokok pikiran (point penting) dalam buku yang hendak diresensi, maka itu sudah cukup. Lalu, bagaimana cara membaca buku yang bisa langsung menemukan pokok pikiran penulis yang ada dalam sebuah buku? Di sinilah, seorang penulis resensi dituntut menguasai “teknik” membaca. Sebab, untuk menemukan pokok pikiran itu tidak harus membaca seluruh isi buku. Apalagi, jika secara kebetulan tema yang diangkat dalam buku yang hendak diresensi itu sudah tidak asing lagi. Jika itu yang dilakukan (membaca seluruh buku), tentu akan memakan cukup “waktu lama”. Padahal, seorang peresensi buku itu –jika tujuan sedari awal hendak meresensi buku tersebut di koran— dituntut cepat.

Setidaknya, ada beberapa teknik dalam membaca buku yang bisa diterapkan.

a). Membaca Cepat (speed reading)  Meski dalam teknik ini, seorang peresensi dituntut untuk tetap konsentrasi menangkap substansi (isi/pokok pikiran) dari buku yang dibaca, tetap saja tidak mengabaikan konsentrasi pada substansi ejaan. Apalagi teknik membaca cepat ini, sekarang ini sedang trend. Sebab, dengan teknik ini, orang tidak lagi butuh waktu lama dalam membaca sebuah buku, tetapi tidak “mengurangi” kualitas seseorang dalam menangkap pesan, isi dan bahkan pokok pikiran penulis di dalam buku tersebut.  

Jadi, intinya seorang peresensi bisa membaca dengan cepat tetapi tetap saja berkonsentrasi membaca naskah secara seksama agar tetap menemukan pemahaman serta pemaknaan yang benar dari pembacaan tersebut. Jika seorang peresensi sudah menguasai teknik ini, maka itu adalah satu point plus yang dimiliki. Sebab, dia tidak perlu membaca buku dalam waktu yang lama, tetapi bisa memangkap isi buku yang hendak diresensi.

b) Membaca Secara Sekilas
Dalam teknik ini, seorang peresensi buku tak harus membaca huruf per huruf, kata per kata, atau kalimat per kalimat. Jika hal itu yang dilakukan, lagi-lagi akan membutuhkan waktu yang lama. Apalagi, bagi seorang peresensi yang tidak memiliki minat baca tinggi. Maka bisa butuh waktu satu minggu untuk bisa menyelesaikan bacaan satu buku. Padahal, meresensi di koran itu butuh waktu cepat –mengingat dead line buku baru itu singkat dan persaingan ketat antar peresensi pun cukup tinggi.

Padahal, jika kalah bersaing atau bahkan resensi buku yang hendak diresensi itu kalah cepat atau dikerjakan lebih dulu oleh peresensi lain, maka itu bisa dikata kehilangan peluang yang cukup berharga (untuk kriteria buku baru dan bagaimana dapat memenangkan persaingan dengan peresensi lain sewaktu mengirim di koran, akan saya bahas di lain waktu. Jadi mohon sabar. Tips-tips berikutnya seputar kedua tema tersebut, saya jamin tidak akan kalah berharga dan patut dicermati) Tunggu ya!

Lalu, bagaimana cara “membaca sekilas” tetapi tidak kehilangan poin penting dari sebuah buku yang dibaca? Tentu harus jeli menangkap ide utama (main idea) di dalam setiap paragraf dari lembaran-lembaran buku. Dengan tangkas (jeli) membaca ide utama, maka tidak perlu butuh waktu lama. Sebab, seorang peresensi bisa lompat dari paragraf satu ke paragraf yang lain setelah mengkap maksud dari setiap paragraf dari lembaran-lembaran buku tersebut.

Dari ide utama yang berhasil ditangkap itulah, peresensi bisa memberi garis bawah atau menorehkan stabilo. Metode ini selain untuk menemukan ide utama dari sebuah paragraf, juga untuk menandai kalimat-kalimat penting yang kelak akan bisa dijadikan bahan dalam membuat resensi buku. Dengan patokan kalimat yang diberi garis bawah atau stabilo itu, peresensi kelak ketika menulis resensi tinggal membalik dan mencari mana bagian penting yang harus dimasukkan ke dalam resensi. Mudah dan simpel kan?

Jadi, tidak perlu repot-repot membaca kata per kata. Kalau sudah ditemukan jalan yang bisa ditempuh dengan cepat, kenapa harus menempuh cara yang lambat? Tetapi, metode ini menurut saya, tidak bisa diterapkan dalam membaca buku untuk genre novel. Sebab, untuk kategori novel, membaca seluruh isi buku adalah wajib. Itu tidak lain, karena novel memiliki kisi-kisi dan tikungan-tikungan yang tidak sedikit, sehingga perlu dibaca dengan seksama dan cermat dari awal hingga akhir.

c) Membaca “to the Point”
Apa yang dimaksud dengan membaca to the poin? Saya sebenarnya tak punya  sebutan yang pas untuk metode satu ini (mungkin ada sebutannya, tetapi kebetulan saya saja yang belum mengenal ataupun belum tahu nama untuk metode ini). Jadi, membaca “to the point” itu pada intinya adalah menangkap pokok pikiran, ruh, inti sari yang dituangkan oleh penulis dalam sebuah buku. Sekali lagi, metode ini tak bisa diterapkan untuk membaca jenis buku kategori novel. Metode ini –sekali lagi-- hanya dapat diterapkan untuk genre buku sistematis –seperti buku yang semula diangkat dari skripsi, tesis atau desertasi. Juga, buku-buku yang ditulis secara runtut, urut dan sistematis seperti buku yang ditulis dari hasil sebuah penelitian.

Lalu, bagaimana teknik membaca “to the point” itu? Pertama-tama, bukalah daftar isi buku, lalu temukan pokok pikiran dari buku tersebut dalam daftar isi buku tersebut. Bagaimana cara menemukan pokok pikiran hanya dari membaca daftar isi? Tentu gampang! Ini hanya sekadar untuk mengenali sistematika sebuah buku saja. Karena itu, setelah membaca daftar isi, bukalah “pendahuluan” buku tersebut. Dari pendahuluan itu, sudah pasti akan ditemukan pokok masalah yang jadi bahasan dari buku tersebut.

Sebagaimana susunan buku yang ditulis secara sistematis, pada “bagian awal” (atau pendahuluan) buku itu, sudah pasti penulis buku akan mengajukan “poin-poin” penting berupa pertanyaan yang akan dijawab di dalam (pembahasan) buku tersebut. Dengan kata lain, poin-poin penting yang akan jadi pertanyaan itu tidak lain adalah rumusan masalah. Jadi, temukan dengan cermat “rumusan masalah” buku tersebut.

Jika sudah ketemu, langkah berikutnya adalah membuka “bab pembahasan” –biasanya di bab akhir—dan setelah itu, bacalah dengan seksama, cermat dan kritis. Dengan menerapkan metode ini, maka peresensi tak perlu lagi harus membaca dari halaman awal sampai akhir. Cukup hanya membaca poin penting sebuah buku sebab untuk menemukan pokok pikiran sebuah buku, apalagi kalau kebetulan peresensi itu sudah menguasai tema yang dikupas dalam buku tersebut, maka tinggal membaca to the point dari sebuah buku.

Jadi, pada intinya, membaca buku untuk meresensi itu hukumnya wajib. Tak bisa ditawar lagi. Tanpa membaca, pastilah seorang peresensi tidak memiliki modal apa pun untuk dijadikan “sebagai bahan” tulisan dalam menulis resensi buku. Di sini saya bercerita sedikit tentang sebuah kisah curang dan tragis yang pernah dilakukan oleh satu satu teman saya dalam meresensi buku. Tapi, sekali lagi, ini hanya sekadar contoh. Dan contoh ini adalah contoh buruk, yang tidak saya anjurkan untuk ditiru! Jadi, untuk apa saya perlu menceritakan kisah ini? Tujuannya, tidak lain, agar Anda dan juga saya bisa belajar tak saja dari kisah-kisah yang baik tapi juga bisa memetik pelajaran dari kisah-kisah yang kurang baik.

Saya sebenarnya tak tahu apa motif teman saya di balik ulah curang dan culas yang dia lakukan dalam menulis resensi buku itu. Jadi kisahnya, satu hari teman saya itu menulis resensi buku. Tetapi, dia itu tidak memiliki buku tersebut. Jadi, intinya, dia tidak membaca buku itu, tetapi memaksakan diri menulis resensi buku tersebut. Pertanyaan yang mungkin hendak Anda ajukan, bagaimana dia (teman saya itu) bisa menulis resensi padahal dia itu tidak memiliki buku itu, apalagi membuka dari setiap halaman dan membaca buku tersebut.

Lalu bagaimana ia bisa membuat resensi untuk buku yang tidak dia baca itu? Inilah yang saya cebut ulah curang dan culas. Mungkin, dia itu butuh uang, atau lagi butuh buku sehingga kebelet menulis resensi dengan mengambil jalan pintas. Jadi, singkat cerita, teman saya itu tak mau susah-susah membaca buku tersebut. Apalagi, mau membeli. Intinya dia tidak mau susah-susah membaca buku tersebut, tapi mau jalan pintas dengan cara mencari-cari bahan seputar tema yang diulas buku tersebut.

Setelah dia mendapatkan bahan, dia menulis resensi buku berdasarkan dari bahan yang dia kumpulkan dari internet itu. Ironisnya, nasibnya sedang mujur. Tak lama setelah ia mengirimkan hasil resensi (palsu) dan menunggu, ternyata “resensi” yang dia tulis itu dimuat di koran. Redaktur memang bisa “kecolongan”. Dan kasus ini salah satu satu contoh! Sebab tak sedikit redaktur yang juga belum pernah tahu wujud buku. Jadi, dia tentu belum tahu apa isi buku yang kebetulan diresensi oleh hampir peresensi yang mengirim. Sementara tugas dia hanya menyeleksi. Tapi itulah yang kemudian terjadi. Redaktur itu ketipu bahkan bisa disebut kecolongan. Karena dia memuat sebuah resensi palsu.

Tetapi, tidak demikian dengan orang penerbit –dalam hal ini editor di sebuah penerbit. Dia sudah pasti tahu isi buku itu. Maka, ketika teman saya itu menelpon ke penerbit untuk meminta buku baru dan bonus (berupa uang), dia –teman saya itu-- bukan mendapatkan pujian, penghargaan yang baik, atau rasa simpati, tetapi justru diumpat. Sebab, editor di penerbit –yang kebetulan bukunya di resensi oleh teman saya itu—tahu bahwa teman saya meresensi buku dengan ngawur, bahkan melenceng dari isi buku.

Setelah mendapatkan complain pedas dari editor, teman saya itu pun hanya duduk lemas dan termangu. Lebih dari itu, dia “merasa malu” lantaran telah merusak kepercayaan dan reputasi yang dia bangun. Dia tidak saja tidak jujur pada penerbit, dan banyak pembaca yang telah resensi buku yang dia tulis –karena jauh dari isi buku—tapi dia juga tidak jujur pada dirinya sendiri.

Dari kisah ini, saya ingin menegaskan bahwa penulis itu dituntut untuk jujur dan mau tidak mau juga harus “berjuang sekuat tenaga” untuk menjaga reputasi dan kepercayaan. Sebab, jika reputasi dan kepercayaan yang sudah diberikan orang lain –baik itu penerbit maupun redaktur dilukai, penulis itu sendiri yang akan rugi. Dia tak lagi dipercaya dan nama baiknya hancur.

Jadi, apakah untuk meresensi buku itu seorang peresensi harus “membaca” buku tersebut dari awal sampai akhir? Hanya Anda yang bisa menjawab. Sebab tugas peresensi itu selain memberikan informasi seputar buku yang diresensi, pada intinya juga memberikan penilaian dan pendapat Anda tentang buku yang diresensi. Maka, hasil bacaan Anda itu menentukan seberapa kuat resensi yang akan Anda tulis. Kian kuat Anda membaca, akan semakin berbobot hasil resensi yang Anda hasilkan.

Selamat berjuang! Salam sukses...!
      

5 komentar:

  1. Wah kok ya bisa ya meresensi bahkan tanpa membaca sama sekali? Kalo meresensi dengan membaca sekilas sih saya sudah pernah mas, itupun karena waktu dan tenaga yang tdk memungkinkan u/ membaca buku itu seluruhnya (terutama nonfiksi). Tapi, kalo untuk novel tidak bisa tidak memang harus membaca seluruhnya. Bagus mas tulisannya.

    BalasHapus
  2. jk ada yg meresensi tanpa membaca, ya dia itu py ilmu laduni mas. hehehehe, hayooooo mas dion ngaku prnh meresensi tanpa membaca tuntas.... sip, mas. thanks sdh mampir

    BalasHapus
  3. saya banyak belajar di sini, terima kasih mas Mursidi :)

    BalasHapus
  4. wah akhirnya rahasianya ketemu juga disini, menarik dan inspiratif artikelnya gan, nanti tak coba dirumah

    BalasHapus
  5. @mas Rasyid: saya jg banyak belajar kepada mas, thasnks dh mampir di sini.

    @ryan: trm kasih, smg bermanfaat

    BalasHapus